oleh Shierlen Octavia
Harta, takhta, cinta (+kuota).
Kata orang, kepemilikan akan hal-hal tersebut adalah standar yang menggambarkan bahagia tidaknya seseorang di zaman ini. Tentu saja anggapan umum tersebut tidak keliru. Memangnya dewasa ini, siapa yang tahan hidup menderita tanpa uang, tidak diakui orang lain, jomblo seumur hidup, dan tidak bisa berselancar di internet? Kita semua sama-sama memahami bahwa hal-hal tersebut kita butuhkan dan inginkan dalam hidup. Sepanjang hidup, kita melalui perjalanan untuk mencari kebahagiaan di setiap detik yang kita lalui. Namun, apa sebenarnya kebahagiaan? Apakah betul tatkala kita memperoleh harta, takhta, cinta yang kita idam-idamkan lantas perjalanan mencari kebahagiaan tersebut usai?
Ingin bahagia sih, tapi…
Manusia itu makhluk yang aneh. Meskipun kita tahu persis bahwa tidak ada dari kita yang tidak ingin bahagia, kita mungkin tidak pernah berpikir serius mengenai kebahagiaan yang kita maksud. Kita mengatakan kalau kita mau bahagia, tapi banyak sekali hal yang kita lakukan pada gilirannya justru menjauhkan diri kita dari kebahagiaan.
Kita ingin kaya, tapi kita tidak rela mengeluarkan selembar lima puluh ribuan dari dompet untuk berdana. Kita ingin dihargai, tapi kita menulis komentar jahat di laman media sosial seseorang yang kita benci. Dengan perilaku kita yang demikian, kita mungkin sampai pada kesimpulan bahwa kebahagiaan sama dengan kebebasan. 100% bebas. Bebas untuk memilih, bebas untuk tidak memilih, bebas untuk berbuat apapun yang kita mau. Namun jika semua orang berpikir seperti ini, maka kebebasan kita akan dibatasi oleh kebebasan orang lain sebab jika semua orang memiliki kebebasan untuk berbuat apapun, termasuk merampas kebebasan kita. Artinya kita tidak bebas kan? Akan tetapi, jika semua orang di dunia ini menghilang dan hanya menyisakan diri kita seorang–bebas berteriak di jalan, bebas membakar rumah orang, bebas melanggar hukum–pun kita tidak bahagia. Kebebasan yang seperti itu nyatanya bukanlah kebahagiaan yang sesungguhnya, sebab pada akhirnya kita tidak bebas dari kebencian, keserakahan, ketakutan, keinginan, keangkuhan–klesha-klesha yang menjadi akar dari penderitaan kita.
Bahagia artinya bebas dari derita
Kita mungkin berpikir kebebasan sejati adalah tentang memiliki waktu dan kesempatan untuk melakukan apapun yang kita mau. Hal ini tentu saja tidak sepenuhnya salah, namun menggunakan logika di atas, kebahagiaan sesungguhnya yang kita inginkan adalah bebas dari penderitaan. Kebahagiaan kita mungkin sesederhana tidak merasa kepanasan di hari yang terik karena sinar mentari begitu membakar kulit. Kebahagiaan kita juga mungkin sesederhana ingin bisa duduk bersila tanpa merasa kesemutan, tidak patah hati saat ditolak gebetan, atau bebas dari rasa kecewa ketika kita gagal. Pada akhirnya, kita cuma benar-benar ingin merasakan kondisi bahagia sepenuhnya, yang bebas dan lepas dari kondisi-kondisi yang tidak kita sukai.
Untuk bahagia aku harus…
Selain bebas dari penderitaan, kita juga mungkin berpikir bahwa kebahagiaan sejati adalah memiliki semua hal yang ‘kata orang’ akan membuat kita bahagia. Punya rumah mewah di Menteng, mengendarai mobil Alphard, memiliki reputasi baik di antara orang banyak, di-follow banyak orang di media sosial, mencapai body goals, adalah sekelebat dari sekian banyaknya ‘target bahagia’ yang membayang-bayangi cara kita menjalani hidup. ‘Aku harus kaya baru aku bahagia!’, ‘Aku harus punya 100 ribu followers, baru aku bahagia!’. Tentu saja hal ini akan membuat kita senang. Namun kesenangan dari hal-hal tersebut rapuh bagaikan kayu yang sudah dirayapi. Oleh karena itu, tanpa tujuan dan motivasi yang jelas, kesenangan-kesenangan tersebut tidak benar-benar bisa membuat kita bahagia. Hal ini karena jikalau kita mengambil contoh bahwa ketenaran semata adalah penentu kebahagiaan, maka idol-idol yang kita gandrungi pastilah adalah orang yang paling bahagia di dunia. Namun pada kenyataannya tak jarang kita temui tokoh ternama yang mengalami depresi, terlepas dari seberapa banyak pengikut yang ia miliki.
…menyingkirkan sebab ketidakbahagiaan
Sebenarnya, bukan kekayaan, ketenaran, maupun hal-hal duniawi itu sendiri yang membuat seseorang ‘tidak bahagia’. Bukan juga kemiskinan, tidak terkenal, tidak cantik atau ganteng. Ego atau sikap mementingkan diri sendiri yang kita peliharalah yang membuat kita tidak bahagia. Jika kita mengejar kekayaan misalnya, hanya karena ingin hidup mewah dan foya-foya, kita akan dengan cepat menderita oleh keinginan kita yang lainnya segera setelah kita mencapai kekayaan. Selain itu, tidak ada satu hal pun yang berkondisi yang tidak berubah. Wajah yang cantik dan tampan akan keriput dan layu oleh usia. Kekayaan bisa habis ketika krisis ekonomi melanda. Reputasi baik bisa rusak karena setitik kesalahan. Bahkan katakanlah ketika tidak ada satu hal pun yang ‘mengubah’ kondisi kita–harta kita tetap berlimpah, wajah kita tetap menawan di usia lanjut–hal-hal ini akan membuat kita bosan pada satu waktu dan gagal membuat kita merasa bahagia secara konstan. Klesha kita lagi-lagi mempermainkan kita dan membuat kita tidak bisa merasa bahagia biarpun sudah mencapai yang kita inginkan. Selama kita masih berputar di samsara, sulit sekali untuk bisa merasa bahagia terus menerus.
Lantas bagaimana cara agar kita bisa bahagia?
Baca juga: Memahami Dukkha dan Terbebas Darinya
Menentukan kebahagiaan yang dituju
Cara meraih kebahagiaan bergantung pada kebahagiaan seperti apa yang ingin kita tuju. Dengan tubuh ini, ada tiga tingkatan kebahagiaan yang bisa kita capai. Pertama, tentu kita bisa mencapai kebahagiaan pada kehidupan saat ini. Hidup dengan nyaman, bergelimang harta, dikenal orang banyak, hingga bisa menikmati masa tua dengan tenang. Namun, tak ada yang bisa menjamin bahwa di kehidupan berikutnya, kita bisa hidup bahagia! Oleh karena itu, pada tingkatan kedua, kita juga bisa berjuang untuk bahagia pada kehidupan mendatang, misalnya kelahiran di alam dewa atau terlahir kembali sebagai manusia, namun dengan kondisi yang jauh lebih baik. Akan tetapi kita sudah belajar bahwa hal apapun yang berada dalam samsara pada kenyataannya berubah-ubah, muncul secara berkala, dan bersifat sementara. Kalau hari ini lahir sebagai dewa, apakah besok mati pasti terlahir jadi dewa kembali? Kita pun bisa meng-upgrade kebahagiaan yang kita kejar menjadi pembebasan dari samsara, terlepas dari pasang surut kehidupan yang merupakan keniscayaan.
Kendati demikian, bahkan kebahagiaan tersebut masih bukan kebahagiaan tertinggi! Bagaimana dengan orang tua kita? Pacar kita? Sahabat kita? Kita tentu ingin mereka juga bahagia, namun kita sadar bahwa mereka masih terjebak dalam samsara seperti kita. Apa yang bisa kita lakukan? Dengan mencapai Kebuddhaan yang lengkap dan sempurnalah–bebas dari ketidakstabilan samsara dan meraih kebahagiaan bagi orang-orang yang kita sayangi–kita bisa mencapai kebahagiaan tertinggi.
Baca juga: TIga Motivasi Praktik Dharma
Kebahagiaan tertinggi BISA diraih
Apa yang bisa kita lakukan untuk bisa mencapai kebahagiaan? Dengan melatih batin kita untuk menjadi tangguh dan bijaksana dalam menilai setiap situasi, kita bisa mengembangkan kebahagiaan yang lebih tahan lama. Tidak baper dan ngambekan ketika ada sedikit saja perkataan orang yang menyinggung kita. Tidak dengan mudah menghakimi perbuatan orang lain sebagai hitam dan putih yang lantas membuat kita terombang-ambing karenanya. Tidak mudah jatuh saat ada orang yang berniat menyakiti kita. Ini semua adalah latihan untuk menempa batin kita, memukul mundur sikap mementingkan diri sendiri yang membuat kita menderita sehingga kita bisa merasakan kebahagiaan.
Kemudian, dengan mengarahkan motivasi kita dalam melatih batin untuk tujuan yang baik, tujuan yang lebih besar, dan tidak memenangkan ego kita, kita akan semakin maju dalam perjalanan menuju kebahagiaan sejati. Ya! Kebahagiaan sejati–membebaskan diri sendiri dan semua makhluk dari penderitaan–adalah sesuatu yang bisa diraih. Dengan belajar Dharma, mengaitkannya dengan kehidupan kita sehari-hari, dan membiasakan diri dengannya, kita bisa melatih batin menjadi kokoh dan tenang seimbang, memandang semua makhluk dengan penuh cinta kasih dan memiliki kebijaksanaan serta kemahiran untuk menolong semua makhluk, termasuk diri kita sendiri. Inilah yang diajarkan oleh Buddha kepada kita sejak lama.
Memang, kita sering disesatkan oleh klesha yang mencengkeram kita sehingga kita berpikir bahwa kita harus mewujudkan semua keinginan kita untuk bebas dari penderitaan, yang dalam perjalanannya mungkin tidak mengindahkan kepentingan orang lain. Kita sering melupakan fakta bahwa banyak hal yang membawa kehangatan, kelembutan, dan kebahagiaan berakar dari kebaikan orang lain terhadap kita.
“Kita tidak bisa menikmati kebahagiaan begitu saja, karena kebahagiaan bukan sesuatu yang muncul dari kehampaan atau ruang kosong. Kebahagiaan hanya bisa kita nikmati dalam hubungan kita dengan makhluk lain.”
-Guru Dagpo Rinpoche
Menerima kebahagiaan, memberi kebahagiaan
Hari ini ketika kita bisa menikmati sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk favorit tersedia di atas meja makan, kita merasa bahagia. Kita bebas dari rasa kelaparan, bahkan bisa menyantap hidangan yang menggugah selera. Dari mana kebahagiaan ini berasal? Selain dari upaya baik kita sebelumnya untuk memperolehnya, tentu ada kebaikan hati orang lain yang mempersiapkannya untuk kita. Kebaikan hati orang yang memasaknya untuk kita pun tak terlepas dari kebaikan hati orang yang telah bersusah-payah memproduksi bahan-bahan makanan kita. Tanpa disadari, kita ternyata terhubung dengan begitu banyak makhluk di dunia lebih dari yang dapat kita bayangkan. Sama halnya ketika kita merasa bahagia menerima kebaikan hati orang lain, begitu pun sebaliknya. Ketika kita berbuat baik, kebaikan tersebut tidak hanya bergema kepada orang yang menerimanya, namun juga kita sebagai pelakunya. Hal ini karena kebaikan hati memperteguh hal dasar dari kondisi kita sebagai manusia yakni kebutuhan dan penghargaan kita terhadap hubungan sesama manusia.
Meskipun kebaikan tidak selalu dihargai, tidak selalu mendapat pujian dan hadiah, namun berpraktik Dharma, hidup seturut dengan hati yang tulus dan motivasi yang bajik akan membebaskan kita dari penderitaan. Sebab disadari atau tidak, kita tengah berusaha menciptakan sebab-sebab untuk memperoleh kebahagiaan. Kita juga bisa mengarahkan keinginan-keinginan duniawi kita untuk hal-hal yang baik pencapaian kita lebih bermakna. Sebagai contoh, kekayaan bisa digunakan tidak hanya untuk mempertahankan hidup diri sendiri, namun juga kehidupan orang lain. Ketenaran juga lebih berarti jika dimanfaatkan untuk menyebarkan hal-hal baik akan membantu kita merasa terhubung dengan makhluk lain, dan membuat kita merasakan hidup yang lebih berarti. Walaupun terdengar naif, pada kenyataannya, hal-hal inilah yang lebih bertahan dalam membuat kita merasa bahagia.
Menolong orang & berbahagia nggak perlu tunggu sukses duniawi. Baca caranya di sini!
Tentu saja, siapa pun tahu bahwa hal-hal seperti ini seringkali lebih mudah untuk diucapkan dibandingkan dilakukan. Kesedihan dan penderitaan yang kita alami membuat kita sulit mengelola masalah, apalagi untuk melihat cara untuk mencapai kebahagiaan. Akan tetapi, sebagaimana hidup adalah perjuangan, kebahagiaan sejati pun adalah sebuah perjuangan sekaligus perjalanan kita seumur hidup, bahkan hingga ke kehidupan-kehidupan berikutnya. Buddha telah sejak 2500 tahun yang lalu menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati adalah hal yang sangat mungkin kita capai. Oleh karena itu, berpegangan kepada keyakinan akan Triratna, kita tidak boleh berputus asa dalam perjalanan memahami definisi kebahagiaan sejati, dan tentu pada akhirnya untuk mencapainya seutuhnya.
Referensi:
Hati Tanpa Gentar oleh Thupten Jinpa
Rahasia Bahagia oleh Guru Dagpo Rinpoche
What Makes You Not A Buddhist oleh Dzongsar Jamyang Khyentse Rinpoche