oleh Silvi Wilanda
Akhir-akhir ini kematian terasa lebih dekat. Kabar-kabar duka yang jadi sorotan publik seperti Ratu Elizabeth II, Reza Gunawan, dan yang sebelumnya Brigadir Yoshua muncul di mana-mana. Aktivitas pencarian informasi pun menjadi ramai, mulai dari pencarian biografi tokoh tersebut, perannya dalam masyarakat, bagaimana kronologi kematiannya, serta lainnya. Namun, sebenarnya ada satu hal lain yang luput dari pencarian informasi kita, yakni bagaimana proses kematian itu sendiri.
Pernahkah terlintas dalam pikiran kita, kematian itu seperti apa? Bagaimana prosesnya? Ke mana kita pergi setelah mati? Bagaimana kita bisa terlahir kembali? Sebagai umat Buddha yang meyakini hukum karma dan konsep kelahiran kembali, ini adalah hal penting untuk direnungkan dan dimeditasikan. Setelah sebelumnya membahas tentang merenungkan kaitan kematian dengan hidup kita dari berbagai sisi, proses kematian inilah yang seterusnya perlu kita renungkan dalam Tahapan Jalan Menuju Pencerahan (Lamrim).
Jadi, seperti apa proses kematian itu? Berikut adalah cuplikan spoiler-nya:
Penyebab Kematian
Buddha menjelaskan ada 3 sebab utama kematian, yaitu:
- Habisnya masa kehidupan kita.
Saat kita terlahir kembali, kita “terlempar” ke kehidupan selanjutnya dengan jangka hidup yang pasti. Seseorang hanya bisa hidup sepanjang jangka hidupnya ini saja, tidak bisa lebih, tapi sangat bisa habis sebelum waktunya. Sebab kedua dan ketiga di bawah ini adalah penyebab bagaimana seseorang bisa meninggal sebelum jangka hidupnya berakhir.
- Habisnya karma baik kita.
Selain jangka hidup, kita juga membutuhkan karma baik untuk dapat tetap melangsungkan kehidupan. Jika karma baik kita habis sebelum jangka hidup kita berakhir, kita bisa meninggal. Untuk itu, penting bagi kita untuk menghemat tabungan karma baik kita dengan menghindari gaya hidup mewah dan rajin melakukan kebajikan.
- Hadirnya kondisi yang tidak menguntungkan.
Selain habisnya karma baik, kematian sebelum jangka hidup berakhir juga bisa disebabkan karena hadirnya kondisi yang tidak menguntungkan. Untuk itu, penting juga mendedikasikan kebajikan kita agar kita terhindar dari sebab kematian ini.
Pikiran Terakhir Menjelang Kematian
Saat menjelang kematian, pikiran terakhir kita berupa pikiran baik, buruk, atau netral. Jika pikiran yang muncul adalah pikiran baik, kita akan merasa damai, bahagia, dan seolah-olah melihat cahaya putih. Namun, jika pikiran buruk yang muncul, kita akan merasa takut, khawatir, dan seolah-olah melihat kegelapan. Pikiran terakhir menjelang kematian juga dapat diketahui dari hilangnya panas tubuh. Jika pikiran kita baik, maka panas tubuh akan hilang berangsur-angsur dari kaki hingga ke bagian tengah tubuh. Jika pikiran kita tidak baik, maka panas tubuh akan hilang dari kepala menuju bagian tubuh bawah.
Pikiran terakhir menjelang kematian ini sangat penting karena akan memengaruhi kehidupan kita yang selanjutnya. Jika pikiran terakhir kita buruk, kita akan terlahir di alam rendah. Begitu juga sebaliknya, jika pikiran terakhir kita baik, maka kita akan terlahir di alam bahagia. Meski semua orang ingin memiliki pikiran terakhir yang baik, namun kemungkinan besar pikiran terakhir yang muncul saat menjelang kematian adalah hal yang paling sering kita lakukan. Mengingat kita masih lebih sering melakukan ketidakbajikan, maka sangat mungkin pikiran buruklah yang datang saat kematian tiba.
Untuk itu, penting bagi kita untuk membiasakan diri untuk berpikir bajik, khususnya melatih diri kita untuk mengambil perlindungan kepada Triratna dengan sungguh-sungguh. Saat mengambil perlindungan, kita perlu membangkitkan kengerian akan kelahiran di alam rendah dan keyakinan bahwa Triratna dapat menolong kita. Selain itu, kita juga bisa melatih diri untuk memeditasikan penampakan objek suci, seperti Buddha, Istadewata (Awalokiteshwara/Kwan Im, Arya Tara, Manjushri, dan lain sebagainya), ataupun Guru kita sendiri. Harapannya dengan latihan akan hal ini, kita bisa mengambil perlindungan sekaligus membayangkan wujud suci menjelang kematian tiba.
Perpisahan Unsur Pembentuk Tubuh
Saat terlahir, 4 unsur pembentuk tubuh kita (tanah, air, api, dan udara) bersatu dengan arus batin kita. Dalam proses kematian, hal yang sebaliknya yang terjadi. Unsur-unsur tubuh ini berpisah hingga akhirnya batin kita kehilangan dasar fisiknya.
Unsur yang pertama kali akan terpisah adalah tanah. Saat unsur tanah mulai terpisah, tubuh kita akan terasa kehilangan energi dan merasakan sensasi seolah-olah tenggelam ke dalam tanah. Unsur kedua yang akan terpisah adalah air. Saat unsur air mulai terpisah, mulut kita menjadi mengering, bibir atas menjadi keriting, dan lubang hidung terjepit. Unsur ketiga yang terpisah adalah api dengan tanda panas tubuh kita akan menghilang dan warna tubuh kita akan memucat. Unsur yang terakhir terpisah adalah angin dengan tanda kita akan sulit bernapas.
Setiap ada unsur yang terpisah, kita juga merasakan pengalaman internal yang sesuai dengan sifat alami karma yang sedang mempengaruhi kita. Jika karmanya tidak bajik, maka kita akan mendengar atau melihat sesuatu yang menakutkan. Sebaliknya, jika di bawah pengaruh karma bajik, maka kita akan mendengar atau melihat sesuatu yang menyenangkan.
Setelah semua unsur terpisah, kesadaran kasar kita berakhir dan terganti dengan kesadaran halus. Tingkat pertama kesadaran halus dinamakan “penampakan putih”, penglihatan kita sepenuhnya putih seperti langit polos yang hanya disinari cahaya bulan. Tingkat kedua kesadaran halus disebut “peningkatan merah” menyerupai langit musim gugur yang berwarna merah. Tingkat terakhir kesadaran halus disebut “pencapaian hampir hitam”, penglihatan kita gelap penuh seperti langit yang gelap tanpa cahaya apapun.
Kesadaran halus pun pada akhirnya akan hilang dan digantikan kembali dengan kesadaran luar biasa halus yang dinamakan “cahaya jernih kematian”. Pada tahap ini, kita melihat musim semi yang bersih dengan langit biru pekat nan murni yang bebas dari cahaya matahari dan bulan. Dalam terminologi Buddhis, inilah momen kematian yang sesungguhnya.
Saat tahap “cahaya jernih kematian” berakhir, maka proses kelahiran kembali akan dimulai. Proses yang sebaliknya terjadi, yaitu “pencapaian hampir hitam”, “peningkatan merah”, dan selanjutnya. Proses ini bertepatan dengan kelahiran kita di alam bardo terlebih dahulu.
Kelahiran di Alam Bardo
Saat berhadapan dengan kematian, kita juga memiliki kemelekatan terhadap diri. Kemelekatan akan diri ini dimiliki oleh semua makhluk, bahkan para Arya sekalipun, hanya saja seorang Arya mampu mengendalikan kemelekatan tersebut. Hanya mereka yang telah mencapai tingkatan Arahat yang mampu menaklukkan kemelekatan terhadap diri ini.
Kemelekatan akan diri ini muncul karena pembiasaan yang sudah terjadi sejak masa kehidupan lampau yang tak terhingga. Kita dihinggapi rasa takut yang amat sangat terhadap kemungkinan bahwa diri kita akan lenyap setelah meninggal nanti. Rasa takut ini kemudian mendorong kita untuk terlahir kembali di alam bardo.
Di alam bardo, kita memiliki bentuk tubuh jasmani yang sama dengan tubuh kita di kehidupan mendatang. Tubuh jasmani tersebut terbentuk dari angin yang sangat halus dan tidak padat seperti tubuh manusia sehingga memungkinkan makhluk bardo untuk lebih mudah bergerak. Misalnya saja, jika makhluk bardo memikirkan suatu tempat, maka tubuhnya akan bergerak menuju arah tempat yang dipikirkannya itu.
Dalam Sutra Barisan Tangkai juga dikatakan bahwa warna tubuh alam bardo menyesuaikan dengan kehidupan mendatangnya. Jika makhluk bardo akan terlahir di neraka, tubuhnya hitam seperti batu bara. Jika akan terlahir sebagai setan kelaparan, tubuhnya seperti air. Jika akan terlahir sebagai manusia atau alam menyenangkan lainnya, tubuhnya akan berwarna emas. Jika akan terlahir sebagai dewa, tubuhnya akan berwarna putih.
Tidak ada waktu minimal makhluk bardo bisa ada di alam bardo. Kapanpun makhluk bardo menemukan tempat untuk terlahir kembali, ia akan segera meninggalkan alam bardo. Biasanya, makhluk bardo cenderung memilih tempat kelahiran selanjutnya sesuai dengan hal-hal yang akrab dan disukainya.
Sedangkan, masa hidup maksimal makhluk bardo di alam bardo adalah 49 hari. Setelah setiap periode 7 hari, makhluk bardo yang tidak menemukan tempat kelahirannya kembali, akan mati untuk kemudian terlahir kembali di alam bardo. Proses ini berlangsung selama 7 kali sehingga total periode hidup makhluk bardo adalah 49 hari. Hal inilah yang mendorong adanya upacara pengumpulan kebajikan selama 49 hari bagi kerabat yang telah meninggal.
Kesimpulan
Begitulah kurang lebih bagaimana proses kematian terjadi. Setelah mengetahui spoiler-nya, perasaan apa yang muncul dalam dirimu? Takut? Semakin melekat dengan hidup? Atau biasa saja? Jika takut, kita harus jadikan rasa itu pecutan untuk bisa segera mempersiapkan kematian dengan lebih baik. Jika semakin melekat dengan hidup, kita harus terus merenungkan kematian agar kemelekatan bisa terkikis sedikit demi sedikit. Jika kita merasa biasa saja, kita semakin perlu untuk bergiat diri merenungkan proses kematian. Terlepas dari perasaan yang muncul, kita perlu segera bergegas mempersiapkan kematian kita karena mau tidak mau kita harus mengalami kematian itu, cepat atau lambat.
Referensi:“Jika Hidupku Tinggal Sehari” karya Guru Dagpo Rinpoche