oleh Junarsih
Hari Waisak biasa kita rayakan untuk memperingati tiga peristiwa penting dalam riwayat Buddha Sakyamuni, yakni kelahirannya sebagai Pangeran Siddharta, Pertapa Siddharta mencapai penerangan sempurna dan menjadi Buddha, dan Buddha memasuki parinirwana. Supaya kita bisa mengupas tuntas kisah hidup Buddha dalam perayaan Waisak ini, Lamrimnesia mengadakan bedah buku “12 Aktivitas Agung Sang Begawan” via aplikasi Zoom bersama Edy, seorang Dosen sekaligus aktivis Buddhis sebagai pembicara.
“Pada relief Candi Borobudur yang menghadap ke Timur adalah relief Lalitawistara yang terdiri atas 120 panel,” tutur Edy mengawali bedah buku.
Kisah hidup Buddha dan aktivitas Beliau terukir dalam relief Lalitawistara yang ada di Candi Borobudur. Aktivitas-aktivitas ini terdiri atas 12 Aktivitas Agung yang dimiliki Buddha, mulai dari kelahiran-Nya sebagai Shwetaketu, kemudian lahir menjadi Bodhisatwa Siddharta, menjalani kehidupan sebagai remaja, menikah, menjadi pertapa, mencapai penerangan sempurna, hingga parinirwana. Kedua belas aktivitas yang disajikan dalam bedah buku kali ini berdasarkan pada Kitab Winayaksudraka yang diulas dalam “12 Aktivitas Agung Sang Begawan” karya Buton Rinchen Drup, seorang cendekiawan besar dan sejarawan Tibet.
12 Aktivitas Agung Sang Begawan
Berikut 12 aktivitas agung Sang Begawan: Keberangkatan Bodhisatwa dari tanah suci Tushita, Bodhisatwa memasuki rahim Ratu Mahamaya, kelahiran Bodhisatwa, ketangkasan yang dimiliki Bodhisatwa, menikahi Yasodhara, kelahiran putra bernama Rahula dan 4 pembawa pesan surgawi, penolakan terhadap samsara, praktik kesederhanaan hidup, kemenangan atas Mara, tercapainya Pencerahan Sempurna, pemutaran Roda Dharma, dan Buddha memasuki parinirwana.
Dari 12 aktivitas tersebut, ada beberapa aktivitas yang diuraikan lebih mendetail oleh Edy, yakni keberangkatan Bodhisatwa dari tanah suci Tushita, kelahiran Bodhisatwa, dan pemutaran Roda Dharma. Selama ini kita hanya tahu kisah Bodhisatwa yang menjelma sebagai seekor gajah putih yang memasuki rahim Ratu Mahamaya pada malam bulan purnama, tapi kita tidak pernah tahu siapa gajah putih ini.
Kelahiran Bodhisatwa
Edy menjelaskan bahwa Siddharta sebelumnya adalah Bodhisatwa yang terlahir sebagai seorang Dewa bernama Shwetaketu yang merupakan pemimpin dari para dewa di alam Tushita. Karena Dewa Shwetaketu adalah seorang calon Bodhisatwa, maka Beliau bisa memilih benua dan keluarga tempat Beliau lahir. Karena Beliau akan segera turun ke bumi, Dewa Shwetaketu menyerahkan mahkotanya kepada Maitreya, Buddha yang akan datang. Kemudian Beliau menjelma sebagai seekor gajah putih bergading enam yang memasuki rahim Ratu Mahayama diiringi para dewa. Bodhisatwa pun kemudian lahir ke dunia di Taman Lumbini.
“Tradisi di India, ketika seorang wanita akan melahirkan anak biasanya kembali ke rumah orang tuanya. Karena dianggap nyaman, dan tradisi ini masih berlangsung sampai sekarang,” ujar Edy.
Begitu pula dengan Ratu Mahamaya yang juga akan melahirkan putranya di rumah orang tuanya. Namun, saat perjalanan ke Nepal Ratu beristirahat sejenak di Taman Lumbini karena kelelahan sambil berpegangan pada pohon Ara. Tak lama kemudian, Bodhisatwa lahir dari perut sebelah kanan Ratu Mahamaya tanpa rasa sakit. Kelahiran Siddharta membuat para dewa pun bersukacita. Beliau langsung bisa berjalan tujuh langkah ke empat arah — Timur, Selatan, Barat, dan Utara. Setiap langkah Bodhisatwa ini memunculkan bunga teratai.
Saat Siddharta berpaling ke timur, ia bersabda, “Aku akan menjadi pendahulu bagi apa pun yang bajik.”
Saat Siddharta berpaling ke selatan, ia bersabda, “Aku akan layak menerima persembahan dari para dewa dan manusia.”
Saat Siddharta berpaling ke barat, ia bersabda, “Aku akan menjadi yang paling tinggi dan utama di dunia ini. Inilah kelahiran terakhirku. Kini aku akan mengakhiri penderitaan dari kelahiran, penyakit, usia tua, dan kematian.”
Saat Siddharta berpaling ke utara, ia bersabda, “Aku akan menjadi yang terunggul di antara semua makhluk hidup.”
Dalam waktu yang bersamaan Putri Yasodhara pun lahir. Setelah tujuh hari kelahiran Siddharta, Ratu Mahamaya kemudian meninggal dunia. Ia tidak bisa hidup lama di dunia karena dikhawatirkan tidak bisa menghilangkan kemelekatan terhadap putranya yang akan menjadi Buddha. Kemudian Pertapa Ashita datang mengunjungi kerajaan dan meramalkan bahwa Siddharta kelak akan menjadi Buddha, sayangnya saat ia menjadi Buddha, Ashita telah tiada di dunia dan ia menangis.
Kehidupan Siddharta berjalan layaknya pangeran pada umumnya yang diberi pendidikan dan ia tumbuh menjadi anak yang cerdas. Karena ia sudah diramalkan akan menjadi Buddha, kemudian ia dinikahkan dengan Putri Yasodhara, setelah kelahiran putra pertamanya “Rahula”, Siddharta lalu meninggalkan istana dan memutuskan menjadi pertama untuk mencari obat penderitaan semua makhluk — lahir, tua, sakit, dan kematian. Akhirnya beliau mencapai pencerahan sempurna di bawah pohon bodhi.
Siddharta Mencapai Pencerahan Sempurna
Setelah memperoleh pencerahan sempurna ini, Buddha merenungkan apakah Dharma yang diperolehnya bisa dibabarkan atau tidak. Menurut Beliau, untuk memahami Dharma dibutuhkan kecerdasan yang luar biasa sehingga belum tentu orang bisa memahaminya. Untuk menghilangkan keraguan ini, Buddha kemudian bermeditasi selama satu minggu di bawah pohon bodhi, dan memutuskan untuk mengajarkan Dharma pada gurunya, Alara Kalama. Namun Alara Kalama dan Guru-gurunya telah meninggal.
Kemudian, Buddha membabarkan Dharma pertama kali tentang 4 Kebenaran Arya kepada lima sahabatnya, Pancavaggiya di Waranasi. Kemudian beliau memutar Roda Dharma kedua dengan mengajarkan Prajna Paramita kepada para Bodhisatwa di Rajgir. Pada pemutaran Roda Dharma ketiga, Buddha menjelaskan tentang kesunyataan dan sifat dasar Kebuddhaan. Pada usia ke-80, Buddha memasuki parinirwana setelah memberikan ajaran terakhir pada murid-muridnya.
Setelah memahami uraian singkat 12 aktivitas Buddha tersebut, kita bisa berlatih untuk meniru sifat-sifat baik dari Siddharta, seperti menyempurnakan pengetahuan supaya tidak mudah menyebarkan hal-hal negatif untuk lingkungan atau bahkan untuk diri sendiri. Kita juga bisa meniru kesederhanaan hidup Siddharta setelah menjadi seorang pertapa, bukan tidak makan sama sekali tapi makan dengan secukupnya dan tidak perlu menggunakan pakaian yang mewah supaya kita belajar untuk tidak melekat agar bisa mengurangi penderitaan. Dan yang paling penting, kita bisa meningkatkan keyakinan bahwa kita mampu mencapai pembebasan yang lengkap sempurna agar dapat menolong semua makhluk bebas dari penderitaan seperti yang diraih Sang Buddha.
Sesi bedah buku ini tidak hanya sampai penjelasan isi buku saja, tapi terdapat sesi tanya jawab yang tentunya menggugah hati dan pikiran kita. Ada salah satu peserta yang bertanya apakah Buddha setelah parinirwana masih ada atau tidak. Edy pun menjelaskan bahwa meski Buddha telah parinirwana, aktivitas Dharmanya masih tetap berjalan berbagai cara, misalnya melalui banyaknya guru-guru Dharma yang kompeten untuk mengajarkan Dharma bagi kita semua atau banyaknya lembaga yang menerbitkan buku Dharma untuk dipelajari. Karena welas asih yang Buddha miliki, maka aktivitas Dharma masih ada hingga kini. Apabila Buddha hanya meninggalkan warisan Dharma tanpa ada aktivitas, maka kita tidak bisa mengikuti jejak beliau untuk bebas dari lingkar samsara.
Selanjutnya ada peserta yang bertanya mengapa sebelum menjadi Buddha kita harus terlahir dulu di alam manusia dan adakah “Mara” dalam diri kita. Edy pun menjelaskan bahwa untuk menjadi Buddha pun kita harus terlahir di alam manusia terlebih dahulu karena hanya di alam manusia kita bisa belajar Dharma dengan baik sehingga bisa membangkitkan motivasi untuk menjadi Buddha. Agar bisa melatih diri mencapai Kebuddhaan, maka kita harus bisa melawan Mara dalam diri. “Mara” dalam diri kita ini sesungguhnya adalah klesha atau kotoran batin yang menghalangi kita untuk melakukan hal-hal bajik. Misalnya karena kita punya klesha kemalasan, kita jadi malas untuk melakukan praktik Dharma – malas berbuat bajik, menunda-nunda untuk berdana, dan hanya mementingkan diri sendiri. inilah sifat yang disimbolkan oleh sosok Mara yang perlu kita lenyapkan agar praktik Dharma kita bisa membuahkan hasil yang maksimal.
Acara bedah buku tentang 12 Aktivitas Buddha ini membuat saya semakin merenung dan menilik kembali dalam batin. Kita pun bisa menilik ke batin masing-masing dan bertanya pada diri sendiri, apakah kita sudah merenungkan sifat-sifat bajik Buddha? apakah kita sudah menjadi orang yang berguna untuk semua makhluk? Dan apakah kita berkeinginan untuk keluar dari samsara? Apabila kita sudah merenung dengan baik, lalu bangkitkanlah motivasi untuk membebaskan diri dari samsara dan membebaskan semua makhluk dari penderitaan.
—
Buku “12 Aktivitas Agung Sang Begawan” dapat diundang di sini