“Kok menyedihkan banget ngomongin kematian?”
“Hus amit-amit, jangan ngomongin mati lah!”
Kematian bukanlah hal yang asing. Setiap hari orang-orang di dunia pasti ada yang mati. Akan tetapi, di Indonesia, kematian seolah-olah merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan. Memang kecenderungan menjauhi topik “kematian” ini merupakan salah satu elemen budaya timur yang bertujuan untuk “menjaga perasaan” orang lain. Selain itu, topik ini juga dijauhi karena melibatkan kemungkinan berpisah dari hal-hal yang kita anggap “penting’ seperti harta, reputasi, pasangan, keluarga, atau bahkan tubuh kita sendiri. Pola pikir seperti ini lama kelamaan tertanam di alam bawah sadar kita, bahwa kita tidak akan mati, “paling tidak dalam waktu dekat aman lah”. Dengan menolak memikirkan atau membahas kematian, kita membiasakan diri untuk lari dari kenyataan bahwa suatu saat kita pasti akan mati. Kita bisa lari sejauh yang kita mau, tapi kematian pasti akan tiba!
“…sepertinya ada seribu cara untuk mati, dan hanya satu cara untuk hidup. Ini bukan pesimisme khas Buddhis. Jika kita meluangkan sedikit waktu untuk merenung baik-baik, kita akan tahu bahwa ada lebih banyak faktor penyebab kematian ketimbang faktor penyokong kehidupan di dunia ini. Kematian senantiasa membayangi kita, namun kita malah cenderung masa bodoh atau pura-pura tidak tahu.“
-Y.M. Biksu Bhadra Ruci (dikutip dari buku “Bertuhan, Beragama, dan Hal-Hal yang Belum Selesai”)
Kematian memang hal yang secara umum menyedihkan, tapi ada fakta bahwa…
Tahu negara Bhutan kan? Negara Buddhis yang satu ini terkenal sebagai negara paling bahagia dunia. Di sana, penduduknya punya kebiasaan mengingat kematian 5 kali sehari, lho!
Dari sudut pandang Buddhis, kematian merupakan salah satu bentuk ketidakkekalan, suatu hal yang alamiah. Jika ada kelahiran, pasti ada kematian. Ketidakkekalan bukanlah suatu konsep yang bertujuan untuk menakut-nakuti atau bisa dinilai positif atau negatif. Itu hanyalah sifat alami dari segala hal yang terbentuk. Jadi ,seorang manusia seyogyanya memahami secara penuh hakikat kehidupan yang satu ini, bukannya denial dan bersikap seolah-olah itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Apa gunanya? Yang utama adalah kita bisa menjadi orang yang realistis dan siap menghadapi fenomena apapun yang menimpa kita, termasuk kematian.
Secara tidak langsung, mengingat kematian juga mengingatkan kita soal waktu yang terbatas, bahwa pasti ada waktunya kita harus meninggalkan tubuh manusia yang berharga ini. Kemungkinan kita mati sepuluh tahun lagi sama besarnya dengan kemungkinan kita mati besok! Mengingat kematian membuat kita benar-benar memikirkan mana yang penting atau tidak penting dalam hidup kita dan bertindak sesuai dengan prioritas itu, bukannya terjebak dalam rutinitas dan menyia-nyiakan makna besar kehidupan ini sementara waktu kematian semakin dekat.
Baca juga: “Lebih Langka dari SSR – Nilai Besar Kelahiranmu Sebagai Manusia”
Kehidupan setelah Kematian
Dalam konteks Buddhis, kita tentunya tahu bahwa ada kelahiran kembali setelah kematian. Namun, tidak ada yang tahu kita akan dilahirkan di alam mana di antara 31 alam kehidupan. Idealnya, tujuan seorang Buddhis adalah mencapai Kebuddhaan atau pembebasan dari lingkaran samsara/kelahiran berulang-ulang (nirwana). Namun, dengan kapasitas kita saat ini, setidaknya kita harus berjaga-jaga agar tidak berbuat karma buruk yang dapat menyebabkan kelahiran di alam menderita (binatang, hantu kelaparan, atau neraka). Mengingat kematian merupakan reminder bahwa kita harus berpikir secara long term, bahwa masih ada kehidupan berikutnya, bahkan kehidupan-kehidupan setelahnya lagi. Jadi, karena perjalanan kita masih sangat panjang, sudah seharusnya kita berhenti hanya memikirkan kehidupan saat ini saja dan melakukan sesuatu sebelum deadline berupa kematian tiba.
Poin ini bukannya bertujuan untuk membuat kita cemas akan masa depan. Seharusnya kita fokus pada apa yang harus saya lakukan sekarang untuk membuat sebab-sebab baik bagi kehidupan yang akan datang, misalnya berbuat karma baik seperti menolong orang dan sebagainya. Tidak ada waktu lain selain sekarang karena kematian bisa datang kapan saja! Dengan demikian, mengingat kematian pun bisa mengatasi rasa malas dan kebiasaan menunda-nunda.
Baca juga: “Jika Hidupku Tinggal Sehari” & “Ini yang Harus Kuperbuat”
Nah, sekarang kita tahu bahwa kita tidak seharusnya menganggap kematian itu tabu. Tapi apakah kita harus mempromosikan kematian ke orang-orang? Ya nggak juga keles! Konteks artikel ini adalah agar kita tidak lagi alergi pada topik kematian dan mulai merasa ingin merenungkannya. Selain itu, mungkin saat berdiskusi Dharma, kita tidak lagi menganggap topik kematian sebagai hal yang harus dihindari.
Lalu, bagaimanakah caranya untuk merenungkan kematian? Tunggu artikel tentang kematian berikutnya ya, Sahabat Lamrimnesia!
Referensi:
What’s Makes You Not a Buddhist oleh Dzongsar Jamyang Khentse Rinpoche
“Buddhist Advice on Death and Dying” oleh Y.M.S. Dalai Lama XIV
“In Bhutan People Think About Death 5 Times A Day” oleh Ester Bhrlik
“Bertuhan, Beragama, dan Hal-Hal Lain yang Belum Selesai” oleh Y.M. Biksu Bhadra Ruci