Yayasan Pelestarian dan Pengembangan Lamrim Nusantara (Lamrimnesia) mengambil langkah untuk mengatasi permasalahan literasi Indonesia lewat Nusantara Dharma Book Festival perdana yang diselenggarakan pada tanggal 23-24 Februari 2019 di Waterfront Baywalk Mall Pluit, Jakarta Utara. Melalui rangkaian bazar buku, bedah buku, dan talkshow, pengunjung diajak untuk memandang kebiasan membaca buku dari sudut yang berbeda, yaitu sebagai kebutuhan dan gaya hidup alih-alih sekedar hobi.
Sepanjang acara yang berlangsung selama dua hari, pengunjung dapat menikmati suasana tepi laut di area Waterfront Baywalk Mall sambil memilih bacaan bertema Buddhis dan Nusantara dari berbagai penerbit. Tema ini dipilih dengan tujuan membuka wawasan terhadap nilai-nilai luhur Nusantara yang menjunjung tinggi kebijaksanaan dan welas asih.
Nusantara Dharma Book Festival juga diramaikan oleh pembicara dari beragam profesi dan latar belakang. Tarot reader dan mantan creative director papan atas Noviana Kusumawardhani (Bude Novi) membuka acara di hari Sabtu dengan pengalamannya menjalankan ‘tugas’ orang tua dalam menanamkan kebiasaan membaca pada anak sejak dini. Rohaniwan sekaligus budayawan Y. M. Biksu Bhadra Ruci bersama penulis dan jurnalis senior Maria Hartiningsih membedah dua buku karya Biksu Bhadra Ruci dan mengangkat isu perbedaan pola pendidikan tradisional yang tak hanya ‘memaksa’ murid untuk membaca, tapi juga menghafal, dengan cara pendidikan modern yang mengutamakan kenyamanan tapi berisiko membuat murid menjadi individu yang rapuh.
Beranjak dari membaca sebagai metode didik, seniman dan arsitek Avianti Armand berbagi pengalamannya membaca dibarengi menulis sebagai sarana mengolah rasa. Beliau mengajak pengunjung untuk mengumpulkan wawasan dan melihat berbagai sudut pandang dari membaca, lalu mensintesiskan pemahaman baru tersebut dengan luapan emosi dan gejolak rasa menjadi karya seni berupa rangkaian kata-kata. Bude Novi juga kembali memperkaya wawasan pengunjung tentang cara “membaca semesta” dengan medium kartu tarot yang ternyata lebih dari sekedar meramal masa depan.
Hari kedua festival, yaitu Minggu tanggal 24 Februari 2019, dibuka oleh Rika Lenawaty dengan sesi mendongeng interaktif dengan tema “My True Hero”. Selanjutnya mantan kepala sekolah Central School International dan ketua Yayasan Prasadha Jinarakkhita Buddhist Institute Lilis Arief juga menekankan pentingnya literasi bagi anak muda Indonesia.
“Bahasa itu seperti jendela. Jika kita punya kemampuan literasi yang baik, kita bagaikan rumah yang memiliki banyak jendela, mampu melihat dunia lebih luas. Literasi membantu pemikiran-pemikiran kita sehingga kita memiliki paradigma, pandangan yang baik, pandangan benar,” jelasnya.
Di sesi siang, 5 buku Dharma dibedah oleh praktisi Buddhis dari kalangan biksu dan profesional muda. Kelima buku ini memiliki dipilih karena memiliki ikatan dengan Nusantara. Buku pertama “12 Aktivitas Agung Sang Begawan” merupakan pembahasan riwayat Buddha berdasarkan kitab yang salah sarunya terukir di Candi Borobudur. Buku “Lakon Hidup Sang Penerang” merupakan kumpulan syair yang ‘memanusiakan’ Buddha. Buku ini ditulis oleh Shantidewa, filsuf besar India yang satu silsilah dengan Guru Suwarnadwipa Dharmakirti dari Sriwijaya. Ada pula buku “Bodhipathapradipa” karya Atisa Dipamkara, pandit besar murid utama dari Guru Suwarnadwipa sendiri. Buku “Je Tsongkhapa” juga dipilih karena mengisahkan riwayat sosok reformis Buddhisme Tibet yang memiliki andil dalam melestarikan ajaran Dharma Nusantara yang dibawa Guru Atisa ke Tibet. Buku kelima yang dibahas adalah “Bebas dari Ketakutan” yang berisi cara menyingkirkan ketakutan dan mengumpulkan kebajikan yang efisien dengan bantuan Arya Tara, perwujudan Buddha dalam bentuk perempuan yang juga merupakan pelindung Nusantara masa lampau, terbukti dengan kehadirannya dalam berbagai legenda rakyat dan rupangnya yang masih ada hingga kini di Candi Kalasan.
Pada sore hari kedua, guru besar ITB Prof. Iwan Pranoto memperkenalkan buku “Indonesia di Mata India: Kala Tagore Melawat ke Indonesia”. Menurut Beliau, buku ini amat penting karena mengantisipasi nasionalisme buta yang kini banyak terjadi di mana-mana. Pesan Tagore dalam buku ini adalah pentingnya memperkenalkan budaya bangsa sendiri seluas-luasnya tanpa merendahkan budaya lain. Di malam hari, Yasa Singgih, pendiri Men’s Republic yang merupakan salah satu dari 30 Under 30 Young Leaders & Entrepreneurs in Asia versi Forbes, menceritakan pengalaman membacanya yang dimulai dari usia muda hingga membantunya meraih kesuksesannya sekarang.
Di sela sesi utama, pengunjung juga diajak untuk lebih mengenal budaya Nusantara melalui beragam kesenian, mulai dari tari dan medley lagu daerah hingga pementasan wayang kontemporer dengan lakon “Sutasoma”, kitab Buddhis kuno yang menjadi sumber frase “Bhinneka Tunggal Ika”, semboyan negara kita. Ada pula pameran karya dan pengumuman lomba lukis, fotografi, dan puisi bertema “Nusantara” yang diikuti pelajar SMP-SMA se-Jabodetabek.
Nusantara Dharma Book Festival yang berlangsung selama dua hari ini hanyalah sebuah awal untuk kampanye “Buka Buku Buka Mata” yang dicetuskan Lamrimnesia. Setelah acara ini, kampanye akan dilanjutkan dengan promosi buku Buddhis dan Nusantara dari berbagai penerbit secara online seeta penyebaran konten kreatif seputar kebiasaan membaca lewat media sosial. Berakhirnya festival di Jakarta juga tidak menutup kemungkinan Nusantara Dharma Book Festival kembali diadakan di tahun depan atau di kota-kota lain.
“Memberitahu manfaat membaca saja tidak cukup. Kita perlu mempertemukan orang-orang, khususnya generasi muda, langsung dengan tokoh-tokoh yang sudah menjadikan membaca buku sebagai bagian dari hidup, juga menyediakan beragam pilihan buku agar mereka bisa mulai membaca saat itu juga,” ucap Fedrik, manager kampanye Lamrimnesia.
“Semangat literasi yang mulai dinyalakan di festival ini kemudian akan terus kita beri bahan bakar dan sebarluaskan melalui kampanye kontinyu di berbagai platform media sosial,” lanjut Fedrik.